Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Catatan Sejarah: Peristiwa G30S dan Konsekuensinya

G30S

Peristiwa G30S, yang memiliki akar dari informasi yang dibawa oleh Subandrio dari Mesir pada tanggal 15 Mei 1965 tentang adanya Dewan Jenderal (Dokumen Gilchrist), merupakan salah satu babak penting dalam sejarah Indonesia.

catatan sejarah; Peristiwa G30S, images: wikimedia


Sukarno, sebagai pemimpin negara pada saat itu, menanggapi isu ini dengan serius. Pada tanggal 25 Mei 1965, Sukarno memanggil para Menteri Panglima Angkatan untuk meminta kejelasan tentang adanya Dewan Jenderal. Namun, tegasnya pernyataan dari Letjen Ahmad Yani selaku Menpangad, yang menyatakan bahwa Dewan Jenderal tidak ada, menjadi salah satu momen awal dalam perkembangan peristiwa ini.

Merasa kurang puas dengan penjelasan yang diberikan, Sukarno mencari kejelasan lebih lanjut dan menemukan 9 nama yang dianggap terkait dengan isu ini. Inilah awal mula dari apa yang kemudian dikenal sebagai peristiwa G30S.

Namun, peristiwa ini tidak berjalan mulus. Meskipun ada upaya untuk menindak para jenderal, tidak semuanya berhasil, dan ada kegagalan dalam pelaksanaannya. Hal ini menciptakan kekacauan politik dan sosial di Indonesia pada saat itu.

operasi penindakan

Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, operasi penindakan terhadap para jenderal dimulai. Para jenderal diculik satu per satu dari rumah mereka. Namun, operasi ini tidak berjalan sesuai rencana, dan Jenderal Nasution berhasil meloloskan diri.

Meskipun mengetahui kegagalan operasi ini, operasi tetap dilanjutkan. Pada pagi harinya, Letkol Untung mengumumkan melalui RRI bahwa Dewan Revolusi telah berhasil menghabisi para jenderal yang dianggap menghalangi Revolusi yang dicanangkan Sukarno. Pengumuman ini mendapat dukungan di beberapa daerah, tetapi juga menciptakan ancaman dan ketakutan di beberapa wilayah.

Dalam peristiwa ini, jenderal Nasution mengakui kesulitannya dalam menentukan siapa kawan dan siapa lawan yang sebenarnya. Ia mencari perlindungan di Markas KOSTRAD sebagai tempat berlindung, meskipun sebetulnya Markas KODAM JAYA adalah benteng pengendali keamanan Jakarta, Indonesia.

Pada saat yang sama, Mayjen Suharto menerima perintah dari Jenderal Nasution untuk mengambil alih komando TNI Angkatan Darat. Hal ini menciptakan perubahan besar dalam dinamika politik Indonesia.

Dengan situasi semakin memanas, mahasiswa dan rakyat turun ke jalan menuntut pembubaran PKI, tetapi Sukarno terus membela keberadaan PKI. Tuntutan ini memuncak dengan dikeluarkannya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, yang memberi wewenang kepada Suharto untuk mengendalikan situasi.

Pada bulan Juni 1966, Sukarno dipanggil oleh MPRS untuk dimintai pertanggungjawaban. Inilah awal dari kejatuhan Sukarno, dan MPRS mencabut mandatnya sebagai Presiden pada bulan Maret 1967. Suharto kemudian diangkat sebagai Pelaksana Tugas Presiden.

kejatuhan Sukarno

Setelah kejatuhan Sukarno, situasi politik di Indonesia mengalami perubahan signifikan. Suharto, yang kemudian menjadi Presiden, melakukan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI di pemerintahan dan mengambil tindakan keras terhadap beberapa menteri dan pejabat yang terlibat PKI.

Namun, Suharto juga berusaha menjaga citra Sukarno dan memasang dirinya sebagai tameng untuk melindungi nama baik Sukarno. Pada akhirnya, Sukarno dianggap sebagai "Pesakitan" yang tidak layak dihukum oleh rakyat Indonesia.

Suharto menjaga Sukarno dalam tahanan rumah dan tidak pernah mengajukan Sukarno ke pengadilan. Sebaliknya, sebagai bentuk penghormatan, pada tahun 1986, Suharto memberikan gelar Pahlawan Proklamasi kepada Sukarno dan Hatta. Tugu Proklamasi didirikan untuk menghormati mereka, dan nama Sukarno-Hatta bahkan disematkan pada nama Bandara Internasional Indonesia.

Penting untuk dicatat bahwa peristiwa G30S membawa konsekuensi politik yang mendalam dan panjang bagi Indonesia. Artikel ini mencoba memberikan pemahaman tentang perkembangan ini dan bagaimana perubahan dalam dinamika politik memengaruhi arah negara.

Kesimpulan

Peristiwa G30S adalah babak penting dalam sejarah Indonesia yang membawa perubahan besar dalam politik dan pemerintahan. Dari kejadian ini, negara melalui berbagai dinamika dan perubahan yang mendalam. 


Dokumen Gilchrist: Kontroversi tentang Penggulingan Soekarno di Indonesia,

dirangkum dari halaman wikipedia;

Dokumen Gilchrist (Gilchrist Document) adalah sebuah dokumen yang menjadi kontroversi dalam sejarah Indonesia pada era 1965. Dokumen ini sering dikutip oleh surat kabar untuk mendukung argumen tentang keterlibatan blok Barat dalam penggulingan Soekarno.

Dokumen ini pertama kali diperkenalkan oleh Soebandrio, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu, ketika ia berada di Kairo, Mesir. Dokumen ini konon berasal dari sebuah telegram yang dikirim oleh Duta Besar Inggris di Jakarta, Andrew Gilchrist, kepada Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. Telegram ini mengacu pada rencana gabungan intervensi militer AS-Inggris di Indonesia.

Namun, keberadaan dan keaslian dokumen ini menjadi sumber kontroversi. Kedutaan Besar AS mencoba mendapatkan salinan foto dokumen tersebut dan menyimpulkan bahwa dokumen itu adalah palsu.

Di kemudian hari, beberapa agen rahasia Cekoslowakia, termasuk Vladislav Bittman yang membelot pada tahun 1968, mengaku bahwa biro agensinya melakukan pemalsuaan dokumen ini. Mereka mengakui tanggung jawab mereka atas kampanye melawan warga negara Amerika Serikat dan distributor film AS di Indonesia yang dekat dengan Soekarno.

Meskipun ada spekulasi tentang kemungkinan keterlibatan Inggris dalam penggulingan Soekarno, beberapa dokumen dari Andrew Gilchrist masih tersimpan dalam status rahasia di arsip Churchill di Churchill College, Universitas Cambridge. Hal ini membuat spekulasi tentang peran Inggris dalam peristiwa tersebut terus berlanjut.

Meskipun Sekretaris Kementerian Pertahanan Inggris pada tahun 1965, Denis Healey, menyatakan pada tahun 2000 bahwa Inggris tidak terlibat, ia juga tidak menampik kemungkinan keterlibatan pihak Inggris jika ada kesempatan untuk terlibat.

Kontroversi seputar Dokumen Gilchrist tetap menjadi bagian dari sejarah politik Indonesia dan perdebatan seputar peran negara-negara Barat dalam peristiwa-peristiwa tersebut.